“Malam Berdarah di Lainungan: Tembakan Gelap, Ancaman, dan Skenario Busuk di Balik Operasi BNN Sulsel”
- account_circle Iful -
- calendar_month Sabtu, 25 Okt 2025
- visibility 98
- comment 0 komentar

SIDRAP, KBK — Bau mesiu di malam pekat itu bukan sekadar sisa letusan peluru. Ia berubah menjadi aroma busuk kebohongan dan ketakutan yang hingga kini belum lenyap dari Desa Lainungan, Kecamatan Watang Pulu, Kabupaten Sidenreng Rappang.
Selasa, 14 Oktober 2025, sekitar pukul 00.30 WITA, langit Lainungan yang biasanya tenang mendadak meledak oleh suara senjata.
Warga yang tertidur panik. Anak-anak menangis. Pintu rumah tertutup rapat. Dari balik jendela, mereka menyaksikan adegan baku tembak seperti di film laga — hanya kali ini, darah dan peluru benar-benar nyata.
“Suara tembakannya seperti perang. Kami kira ada rampok atau teroris,” ujar Irennu, seorang ibu rumah tangga, dengan mata berkaca.
Operasi Rahasia yang Berubah Jadi Teror
BNN Sulsel mengklaim malam itu mereka tengah menjalankan undercover buy — operasi penyamaran untuk menangkap dua pria yang hendak menerima 94 butir pil ekstasi. Tapi versi warga dan korban menceritakan kisah yang jauh lebih kelam.
Tidak ada tembakan peringatan. Tidak ada peringatan lisan.
Yang ada hanya peluru panas menembus bodi mobil Mitsubishi Xpander milik warga sipil, menyalak membabi buta ke arah dua pria tak bersenjata — HR dan RF.

“Langsung tembak, tidak ada teriak ‘berhenti’ atau apa pun,” ujar RF. “Saya menunduk karena peluru lewat di atas kepala. Kalau saya terlambat satu detik, mungkin sudah mati di tempat.”
Mobil yang mereka tumpangi bukan milik mereka. Mobil itu disewa oleh Makmur Ibrahim, seorang Kepala Dusun dari Wajo — yang belakangan justru dijadikan kambing hitam.
Kepala Dusun Jadi Korban Skenario
Makmur ditangkap, ditahan tanpa surat, dan bahkan rambutnya dibotaki di sel BNN Sulsel.
Ia bukan pelaku. Ia bahkan tidak ada di lokasi. Tapi ia dituduh harus mengganti rugi mobil yang diberondong peluru oleh aparat negara.
“Saya ditahan enam hari. Disuruh bayar Rp10 juta, katanya untuk pengacara dan petugas. Kalau tidak, saya dijadikan tersangka,” ujar Makmur lirih.
Ia dipaksa menandatangani surat damai agar seolah-olah masalah selesai. Sebuah surat yang isinya justru menegaskan betapa hukum bisa dibengkokkan dengan tekanan dan ancaman.
“Kalau saya menolak tanda tangan, mereka bilang saya bisa dijerat pasal narkoba. Siapa yang berani lawan?” katanya getir.
Bantahan yang Tercium Palsu

Kasi Intel BNNP Sulsel, Agung FS, buru-buru menepis semua tuduhan.
Menurutnya, tidak ada uang mengalir ke petugas. Tidak ada paksaan. Bahkan pembotakan kepala Makmur disebut “atas persetujuan sendiri” dan bagian dari “disiplin internal.”
Tapi penjelasan itu justru memantik kemarahan.
“Disiplin macam apa yang dilakukan pada orang yang bukan tahanan narkoba?” tanya salah satu tokoh masyarakat Lainungan. “Kalau itu disebut prosedur, maka hukum di negeri ini sudah berubah jadi senjata, bukan pelindung rakyat.”
Skenario Busuk di Balik Tembakan
Fakta di lapangan semakin mengarah pada satu hal: ada upaya sistematis menutupi kekacauan operasi.
BNN Sulsel berupaya mempertahankan citra “operasi sukses”, padahal yang terjadi di Lainungan lebih mirip operasi gagal yang disulap jadi cerita heroik.
Sumber internal bahkan menyebut adanya tekanan agar laporan hasil operasi disusun dengan versi tertentu — versi yang menyelamatkan nama institusi, meski mengorbankan kebenaran.
“Kalau itu bukan skenario, lalu apa? Warga dengar peluru, bukan peringatan. Mobil sipil berlubang. Orang tak bersalah ditahan. Tapi semuanya dibilang prosedural. Ini penghinaan terhadap logika dan nurani,” ujar seorang sumber di lapangan.
Rakyat Menuntut Keadilan
Kasus Lainungan kini jadi buah bibir di Sidrap dan Wajo.
Masyarakat menuntut transparansi total: di mana surat tugasnya, siapa komandan operasi, di mana barang buktinya, dan mengapa ada warga sipil yang dijadikan tumbal?
Jika benar BNN bertindak sesuai hukum, mengapa begitu banyak kebohongan, ancaman, dan ketakutan yang tersisa di balik operasi itu?
“Negara ini tidak boleh jadi panggung sandiwara,” tegas seorang tokoh masyarakat. “Jika aparat bisa menembak seenaknya, menahan tanpa surat, dan memaksa rakyat membayar kesalahan mereka, maka kita sedang menuju kegelapan hukum.”
Malam berdarah di Lainungan bukan sekadar peristiwa salah tembak. Ia adalah noda besar di tubuh penegakan hukum.
Selama BNN Sulsel tidak berani membuka fakta apa adanya — bukan versi karangan — publik akan terus percaya bahwa yang terjadi di malam itu bukan operasi narkoba, melainkan operasi pembungkaman.
Rakyat menuntut keadilan, bukan alasan.
Dan jika hukum tidak lagi berpihak pada kebenaran, maka suara rakyatlah yang akan menjadi peluru paling mematikan. (Gnd)
- Penulis: Iful -

Saat ini belum ada komentar