“Benteng Menangis, Rakyat Berontak dengan Cinta: Jangan Rebut Andi Rahmat dan Ibu Tety dari Kami!”
- account_circle Iful -
- calendar_month Kamis, 23 Okt 2025
- visibility 82
- comment 0 komentar

PINRANG, KBK — Air mata, harapan, dan suara rakyat kini berpadu menjadi satu gelombang perasaan yang tak terbendung di Kelurahan Benteng, Kecamatan Patampanua. Warga menolak dengan tegas rencana pergantian Lurah Benteng Andi Rahmat dan Ketua PKK Andi Tety Ansidar, dua sosok yang mereka sebut sebagai “pemimpin berhati rakyat”.
Dari sudut gang sempit hingga balai kelurahan, dari rumah panggung hingga warung kopi, satu kalimat bergema keras:
“Jangan pisahkan kami dari Pak Lurah dan Ibu Tety. Mereka bukan sekadar pemimpin, mereka keluarga kami.”
Malam di Benteng berubah jadi lautan air mata dan doa. Warga, tokoh agama, pemuda, hingga para ibu rumah tangga berkumpul spontan. Tidak ada spanduk politik, tidak ada orasi penuh emosi — hanya curahan hati tulus rakyat kecil yang takut kehilangan figur pemimpin yang benar-benar hidup di tengah mereka.
“Beliau tidak pernah menunggu rakyat datang. Justru beliau yang datang ke rakyat. Dari urusan kematian, kelahiran, sampai masalah dapur warga, semua disentuh dengan hati,” ungkap Thamrin, tokoh masyarakat yang matanya berkaca-kaca.
Andi Rahmat dikenal sederhana, rendah hati, dan tak berjarak. Di siang hari ia bisa terlihat ikut kerja bakti bersama warga, di malam hari ia masih mendengar keluh kesah rakyatnya tanpa lelah.
Sementara Andi Tety, sang istri, menjadi pelita bagi kaum perempuan Benteng. Melalui PKK, ia menebar ilmu, harapan, dan kehangatan yang jarang dimiliki pejabat istri pada umumnya.
“Ibu Tety bukan hanya ketua PKK, beliau ibu bagi kami. Kalau beliau pindah, hilanglah cahaya Benteng,” kata Rahma, kader PKK yang tak kuasa menahan tangis.
Pemuda pun bersuara lantang.
“Pak Lurah bukan atasan, tapi sahabat kami. Beliau tahu nama kami satu per satu. Kami butuh pemimpin seperti itu — bukan yang datang hanya untuk tanda tangan acara,” tegas Fadli, tokoh pemuda Lingkungan Benteng Selatan.
Kini, Benteng benar-benar bersatu. Warga menolak dengan penuh cinta, bukan dengan kemarahan. Mereka tahu jabatan bisa berganti, tapi pengabdian dan kasih sayang tak bisa ditukar.
“Kami tidak melawan kebijakan. Kami hanya ingin keadilan bagi hati kami. Tolong jangan pindahkan mereka. Benteng ini sudah punya denyut — dan denyut itu bernama Andi Rahmat dan Ibu Tety,” ujar seorang ibu sembari menahan tangis.
Di balik air mata warga Benteng tersimpan pesan kuat: kepemimpinan sejati bukan diukur dari jabatan, tetapi dari cinta yang hidup di hati rakyat. Dan bagi masyarakat Benteng, cinta itu bernama Andi Rahmat dan Andi Tety — dua nama yang kini melekat di sanubari mereka, selamanya. (Gnd)
- Penulis: Iful -

Saat ini belum ada komentar