Tembakan, Tekanan, dan Kebohongan: Skenario Gelap BNN Sulsel Terbongkar?
- account_circle Iful -
- calendar_month Sabtu, 25 Okt 2025
- visibility 75
- comment 0 komentar

SIDRAP, KBK — Bau busuk dugaan rekayasa dan intimidasi mulai menyeruak dari balik operasi Badan Narkotika Nasional Provinsi Sulawesi Selatan (BNNP Sulsel) yang berujung pada drama tembakan, ancaman, dan tekanan terhadap seorang kepala dusun asal Kabupaten Wajo.
Makmur Ibrahim, Kepala Dusun dari Kecamatan Siwa, Kabupaten Wajo, kini menjadi sosok yang disorot publik setelah mengaku dipaksa menjadi kambing hitam dalam insiden penembakan mobil warga di Kabupaten Sidenreng Rappang.
Hingga kini, mobil Mitsubishi Xpander warna hitam milik warga bernama Hasdar—yang diberondong delapan peluru oleh oknum BNNP Sulsel—masih terparkir rusak tanpa kejelasan ganti rugi.
Namun yang lebih mengagetkan, Makmur justru diminta bertanggung jawab dan mengganti kerusakan mobil yang sama sekali bukan akibat perbuatannya.

“Saya yang disuruh bertanggung jawab. Kalau menolak, mereka ancam jadikan saya tersangka dan dijerat pasal 114 ayat 2,” ujar Makmur lirih tapi tegas, saat ditemui di Posko Resmob Polres Sidrap, Rabu (22/10/2025).
Kronologi yang Janggal
Kisah ini bermula ketika Makmur menyewa mobil milik Hasdar. Tak lama kemudian, dua pria berinisial HR dan RF meminjam kendaraan itu untuk urusan pribadi.
Namun malam naas pun tiba. Saat melintas di Desa Lainungan, Kecamatan Watang Pulu, Sidrap, mobil tersebut mendadak menjadi sasaran tembakan beruntun dari petugas BNNP Sulsel, yang mengaku tengah memburu jaringan narkoba dan membuntuti dua pria yang disebut akan menerima 94 butir ekstasi dari seseorang berinisial AO.
Ironisnya, meski peluru sudah menembus bodi mobil, tak ada barang bukti narkoba yang ditemukan.
Yang muncul justru tekanan demi tekanan kepada sang kepala dusun.
“Keesokan harinya saya bersama pemilik mobil menjemput kendaraan itu. Tapi saat di Posko Resmob, BNN datang menangkap saya tanpa surat penangkapan. Saya dibawa ke Makassar, disekap enam hari tanpa surat penahanan,” ungkap Makmur.
Selama di dalam tahanan, Makmur mengaku dipaksa menggundul kepala, diperlakukan seperti tersangka, dan bahkan diwajibkan membayar Rp10 juta dengan dalih untuk pengacara dan petugas BNN.
“Rp5 juta untuk pengacara yang mereka tunjuk, Rp5 juta katanya untuk petugas. Kalau tidak, saya dijadikan tersangka,” ujarnya menahan emosi.
Tekanan tidak berhenti di sana. Makmur dipaksa menandatangani surat pernyataan damai yang menyebut dirinya siap memperbaiki mobil hasil tembakan tersebut.
“Saya terpaksa tanda tangan, karena mereka ancam akan menahan saya lagi,” tambahnya.
BNN Sulsel Membantah, Tapi Publik Tak Mudah Percaya
Kasi Intel BNNP Sulsel, Agung F.S., membantah keras tuduhan itu. Ia menegaskan bahwa tidak ada uang yang diterima oleh pihaknya dan menyebut masalah pembayaran pengacara adalah urusan pribadi antara Makmur dan kuasa hukumnya.
“Saya jamin personel BNN tidak menerima sepeser pun. Soal uang itu, pengacaranya sendiri yang mengatur. Tidak ada kaitan dengan kami,” tegas Agung.
Soal pembotakan kepala Makmur, Agung berdalih hal itu dilakukan atas persetujuan yang bersangkutan dan diklaim sebagai bagian dari “disiplin internal”.
Namun publik mulai mempertanyakan, sejak kapan “disiplin internal” BNN diterapkan kepada warga sipil yang bukan pegawai lembaga tersebut?
Ketika ditanya soal dugaan ancaman terhadap Makmur agar memperbaiki mobil yang ditembak petugas, Agung menghindar dan menyuruh wartawan menanyakan langsung ke pengacara Makmur.
“Saya tidak tahu soal itu. Tanyakan saja ke pengacaranya Pak Dusun,” pungkasnya singkat.
Gelombang Reaksi
Kasus ini kini mengguncang kredibilitas BNN Sulsel. Sejumlah pemerhati hukum dan tokoh masyarakat Wajo menilai kasus ini perlu diusut tuntas oleh pihak independen, karena mengandung aroma penyalahgunaan kewenangan, pemerasan, dan pelanggaran hak asasi manusia.
Publik menuntut transparansi dan audit internal terhadap operasi lapangan BNN Sulsel yang berujung tembakan tanpa kejelasan barang bukti.
Apalagi kini, satu kepala dusun harus menanggung trauma, kerugian, dan tekanan psikologis akibat operasi yang sarat tanda tanya.
“Kalau benar ada tekanan, ancaman, dan uang mengalir, ini bukan lagi operasi, tapi skenario gelap yang mencederai keadilan,” ujar salah satu aktivis hukum di Sidrap.
Kasus ini pun menjadi cermin buram dari praktik penegakan hukum yang seharusnya melindungi rakyat, bukan menindasnya.
Sementara masyarakat masih menunggu: siapa yang berani membuka skenario gelap di balik peluru BNN Sulsel?. (Gnd)
- Penulis: Iful -

Saat ini belum ada komentar